FUNGSI INSPEKTORAT KABUPATEN/KOTA DALAM PENYELENGGARAAN PENGAWASAN PERANGKAT DAERAH SETELAH TERBENTUKNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 Tahun 2019

Di susun oleh : IVONY THO, SE., M.Si (PPUPD Madya)

Desentralisasi: Sebuah Keniscayaan Pemerintahan Daerah yang Demokratis

Runtuhnya rezim Orde Baru dua dekade silam berimplikasi langsung terhadap perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia saat ini. Penerapan pemerintahan terpusat dan sentralistik selama 32 tahun Orde Baru telah terbukti belum mampu memeratakan pembangunan fisik maupun sumber daya manusia di daerah. Sehingga, reformasi menjadi celah untuk mereposisi hubungan pemerintah daerah dan pusat melalui penguatan “bargaining” daerah dalam kedudukan, kewenangan, serta otonomi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pengakuan akan adanya otonomi daerah pasca reformasi dimanifestasikan melalui Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Urgensi penerapan otonomi daerah dirasa perlu diberikan agar Daerah memiliki kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional untuk menentukan jalannya pemerintahan daerah. Selain itu, otonomi daerah diberikan dalam rangka memberikan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.[1]

Lebih lanjut, implementasi otonomi daerah dalam sebuah negara kesatuan merupakan respon terhadap aspirasi kemajemukan masyarakat dan tantangan globalisasi. Bhenyamin Hoessein menyatakan bahwa memperkuat otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 22 tahun 1999 merupakan hasil bekerjanya dua kekuatan, yaitu:[2] pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi disegala bidang; kedua, kekuatan supranasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan implikasinya yang memerlukan respon dalam negeri melalui proses penyesuaian terhadap struktur dan mekanisme kepemerintahan demokratis di tingkat lokal.

Sorak gembira pemberlakuan desentralisasi mengakibatkan timbulnya dorongan-dorongan “bagian” dari Daerah untuk melakukan pemekaran dan pembentukan daerah baru. Sehingga, tidak heran, ketika itu timbul berbagai Daerah baru baik pada tingkatan tingkat II maupun daerah tingkat I. Lebih lanjut, semangat untuk menentukan jalannya pemerintahan daerah, semakin ditindaklanjuti melalui penerapan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum.

Dalam tempo singkat dan cepat, NKRI menjadi negara yang semakin kompleks dengan lahirnya berbagai daerah baru yang disertai dengan perubahan diberbagai sendi kehidupan bernegara. Tentu saja, lahirnya Daerah baru diiringi dengan tuntutan efektifitas berjalannya pemerintahan daerah sesuai dengan potensi dan kebutuhan yang ada dimasing-masing daerah. Terlebih lagi, hadirnya Daerah baru mengharuskan adanya alokasi anggaran khusus dari Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, peran pengawas internal pada pemerintah daerah menjadi signifikan sebagai sebuah upaya pencegahan maupun pembinaan penyelenggaraan pemerintahaan daerah yang efektif, efisien, akuntabilitas, serta mampu memaksimalkan segala potensi dan kemampuan daerah.

Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai Salah Satu Lembaga Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)

Penyebutan APIP secara eksplisit hadir melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Aparat Pengawas Intern Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan urusan pemerintahan di Daerah. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan di Daerah tetap dapat berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan Pemerintah (pusat) berdasarkan peraturan perundang-undangan.[3]

Urgensi adanya pengawasan oleh Pusat kepada Daerah menjadi sebuah hal yang harus dimiliki oleh sebuah negara kesatuan. Tentu saja, seluas-luasnya otonomi yang diberikan kepada Daerah tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara kesatuan apalagi meredusir kedaulatan negara kesatuan. Sehingga, dengan adanya pengawasan terhadap berlangsungnya pemerintahan daerah merupakan instrumen yang harus digunakan oleh Pusat untuk memastikan Daerah mampu menjalankan program – program nasional yang ditetapkan serta mengoptimalkan segala pendanaan dan kebijakan yang diberikan Pusat kepada Daerah untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat.

Pengawasan tidak boleh dimaknai sebagai instrumen Pusat untuk tetap mempertahankan corak sentralistik terpusat sebagaimana rezim pemerintahan otoriter. Pada hakikatnya, Daerah merupakan bentukan Pemerintah, sehingga dalam konteks negara modern berbentuk kesatuan, otonomi daerah memang memberikan kebebasan dan diskresi namun bukanlah kedaulatan dan kemerdekaan bagi Daerah. Lebih lanjut, pengawasan diperlukan bukan untuk mengekang melainkan untuk meningkatkan kinerja daerah otonom, menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, mensinkronkan dinamika penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.[4]

Saat ini, pengaturan mengenai APIP diatur dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana APIP terdiri dari inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.[5] Kesemua lembaga pengawas tersebut dibentuk sebagai pelaksanaan fungsi integral aparat pengawas Pusat dan Daerah. Terlebih lagi, saat ini, penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.[6] Sehingga, hadirnya APIP dari tingkat Pusat dan Daerah menjadi sebuah instrumen penting demi tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah.

Eksistensi Pengawasan Inspektorat Kabupaten/Kota: Secercah harapan pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tingkat I dan tingkat II memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Namun, kerangka pengawasan  tetap menunjukkan adanya garis hirarki yang menyambungkan fungsi pengawasan Pusat dan Daerah. Pada pengawasan penyelenggaraan pemerintahaan daerah tingkat I (provinsi) akan diawasi oleh Menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melalui inspektorat jenderal kementerian atau unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian. Sedangkan, pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tingkat II dilaksanakan oleh Gubernur dan dibantu oleh perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Lebih lanjut, dalam hal pengawasan terhadap perangkat daerah maka semua Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Walikota/Bupati, berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Perangkat Daerah provinsi dibina dan diawasi oleh Gubernur dengan dibantu oleh inspektorat provinsi. Sedangkan, perangkat daerah kabupaten/kota dibina dan diawasi oleh Bupati/Walikota dengan dibantu oleh inspektorat kabupaten/kota. Adapun bentuk kegiatan pengawasannya meliputi:[7] (a) pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (b) pelaksanaan tugas pembantuan yang bersumber dari APBD; (c) ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam tahap perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (d) akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah yang bersumber dari APBD.

Oleh karena itu, terlihat bahwa peran serta inspektorat daerah, terumatama inspektorat kabupaten/kota tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Inspektorat kabupaten/kota diberikan fungsi yang vital dan penting dalam membantu Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan perangkat daerahnya khusus dalam hal pengawasan yang terkait dengan keuangan daerah sejak tahap perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan pertanggungjawaban APBD kabupaten/kota.[8]

Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 mengatur bahwa tugas inspektorat daerah dalam membantu Bupati/Walikota dalam membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan dan Tugas Pembantuan oleh perangkat daerah, meliputi: a) perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan dan fasilitasi pengawasan; b)pelaksanaan pengawasan internal terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya; c) pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan dari bupati/walikota dan/atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; d) penyusunan laporan hasil pengawasan; e) pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi; f) pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi; g) pelaksanaan administrasi inspektorat Daerah kabupaten/kota; h) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh bupati/walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.[9]

Namun, dalam perjalanannya, efektifitas pelaksanaan pengawasan oleh inspektorat kabupaten/kota menjadi dipertanyakan ketika banyaknya pejabat perangkat daerah maupun Kepala Daerah yang terlibat penyalahgunaan kewenangan dan korupsi. Setidaknya, sejak penyelenggaraan pemilukada langsung, sudah 300 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.[10]Bahkan, provinsi riau, terjadi “hattrick” kepala daerah pada yang tersandung tindak pidana korupsi. Belum lagi, jenis pelanggaran-pelanggaran administrasi yang terjadi dalam menjalankan pemerintahan daerah.

Eksistensi dan efektifitas pengawasan oleh inspektorat kabupaten/kota semakin diuji dengan dinamika horizontal yang terjadi dikarenakan melakukan pengawasan pada perangkat daerah (dinas) yang merasa memiliki kedudukan setingkat dengan inspektorat. Sehingga, tidak jarang timbul hambatan dari perangkat daerah untuk bekerjasama dengan inspektorat kabupaten/kota karena merasa “dapur” mereka sedang dikotak-katik oleh inspektorat. Padahal, suksesnya sebuah pemerintahan daerah harus didukung oleh keseluruhan unsur pemerintahan daerah, tidak hanya kepala daerah dan pengawas, melainkan juga segenap struktur perangkat daerah maupun pejabat struktural daerah dibawah Bupati/Walikota, termasuk juga dukungan DPRD.

Kondisi ini menuntut adanya “effort” tinggi yang dimiliki inspektorat dalam menjalankan pengawasan serta dukungan kepala daerah maupun perangkat daerah lainnya untuk sama-sama bekerjasama demi tercapainya pemerintahan daerah yang efektif, efisien, bebas KKN, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, efektifitas penyelenggaraan fungsi dan tugas inspektorat kabupaten/kota memerlukan independensi. Walaupun, secara struktural dan kewenangan, inspektorat bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah.

Persoalan efektifitas pengawasan oleh Inspektorat kabupaten/kota dibenturkan dengan realita struktur inspektorat yang merupakan bagian dari perangkat daerah. Terlebih lagi, ketika ditemukan adanya “kesalahan” atau “penyimpangan” yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. Sehingga, kedudukan inspektorat kabupaten/kota yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah menimbulkan potensi hasil pengawasan yang kurang efektif karena inspektorat masih berada dibawah bayang-bayang pengaruh dari kepala daerah.

Independensi kelembagaan secara fungsi seharusnya bisa dimiliki oleh Inspektorat kabupaten/kota. Paling tidak, laporan pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten/Kota dapat diteruskan juga ke struktur lebih tinggi dalam hal ini Pemerintah Provinsi. Terlebih lagi, inspektorat daerah tidak dibekali daya paksa dan dasar hukum atas setiap laporan hasil pengawasan terhadap pemerintah daerahnya dapat diteruskan/dilaporkan kejenjang pemerintahan yang lebih tinggi jika ditemukan indikasi penyalahgunaan kewenangan yang melibatkan kepala daerah.

Namun, setidaknya, itikad penguatan terlihat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 yang mengarah pada penguatan independensi Inspektorat, walaupun tetap bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Beberapa penguatan yang diberikan diantaranya: (i) ketentuan “mutasi” atau pemberhentian inspektorat daerah kabupaten/kota harus dikonsultasikan terlebih dahulu oleh Bupati/Walikota secara tertulis kepada Gubernur; (ii) penambahan tugas dan fungsi untuk pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi dan mengawasi pelaksanaan program reformasi birokrasi; (iii) kewenangan untuk melakukan pengawasan tanpa perlu menunggu adanya penugasan dari kepala daerah jika terdapat potensi penyalahgunaan wewenang dan/atau kerugian keuangan negara/daerah; (iv) kewenangan inspektorat kabupaten/kota melaporkan kepada Gubernur dalam hal terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang dan/atau kerugian keuangan negara/daerah sehingga Gubernur akan melakukan supervisi kepada inspektorat daerah dengan melibatkan lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan intern Pemerintah.

Oleh karena itu, terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah menjadi “angin segar” bagi para pemangku jabatan di Inspektorat Daerah untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan lebih independen daripada kedudukan sebelumnya. Secara struktur, Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota tidak selalu khawatir atas jabatan dan amanah yang diemban karena proses mutasi dan pemberhentian harus melalui konsultasi resmi oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur. Selain itu, risiko dan ikhtiar yang dilakukan dalam menjalankan pengawasan yang ternyata menemukan kerugian keuangan negara/daerah dan penyalahguanaan kewenangan tidak hanya berakhir sebagai “kertas laporan” semata di meja Bupati/Walikota dengan adanya mekanisme “lapor” kepada Gubernur (jajaran yang lebih tinggi) yang kemudian dilakukan supervisi bersama lembaga pengawas terkait.


[1] Indonesia, Undang -Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 60 Tahun 1999: TLN: 3839, Konsideran

[2] Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011), hlm. 103.

[3] Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437,  Penjelasan Pasal 218

[4] Bhenyamin hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011), hlm. 146.

[5] Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 244 Tahun 2014 TLN No. 5587, Pasal 1 angka 46

[6] Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 244 Tahun 2014 TLN No. 5587, Penjelasan

[7] Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, LN. No. 73 Tahun 2017 TLN. No. 6041, Pasal 17

[8] Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 244 Tahun 2014 TLN No. 5587, Pasal 380.

[9] Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, LN. No. 187 Tahun 2019 TLN. No. 6402, Pasal 33

[10] https://nasional.kompas.com/read/2020/08/07/15133851/kpk-catat-300-kepala-daerah-jadi-tersangka-korupsi-sejak-pilkada-langsung

PENGAWAS PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH

INSPEKTORAT KABUPATEN FAKFAK

Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *