PERAN INSPEKTORAT KABUPATEN/KOTA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Di susun oleh : IVONY THO, SE., M.Si (PPUPD Madya)

Ironisme Korupsi Kepala Daerah: Bahaya Laten Korupsi

Kejadian penangkapan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza atas dugaan menerima suap dari sejumlah proyek APBD tahun anggaran 2021 mengindikasikan rentannya Kepala Daerah terlibat kegiatan untuk memperkaya diri melalui korupsi APBD. Sebuah ironi terjadi ketika Dodi Reza menyusul ayah kandungnya yang merupakan Mantan Gubernur Sumatera Selatan yang beberapa waktu sebelumnya ditetapkan tersangka korupsi di Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan periode 2010-2019.

Kisah ayah dan anak yang terlibat korupsi APBD dengan kedudukannya sebagai kepala daerah bukanlah satu-satunya tindak pidana korupsi yang melibatkan keluarga. Beberapa tahun sebelumnya, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah bersama saudaranya TB Chaeri Wardana terlibat dalam korupsi pengadaan alat kesehatan RS rujukan prmprov Banten. Belum lagi, Provinsi Riau yang telah mencatatkan “hattrick” Gubernur yang diciduk atas pidana korupsi.

Sungguh ironi, ketika berbagai kasus dan modus yang terungkap tidak dijadikan pelajaran dan instrospeksi oleh pejabat maupun kepala daerah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Bahkan, korupsi seakan menjadi dalih pembenaran atas besarnya biaya pemilihan kepala daerah yang digelontorkan oleh kandidat. Padahal, esensi dari pemilihan umum kepala daerah adalah memilih pemimpin yang diharapkan mampu memajukan daerah dan masyarakatnya.

Tentu saja, peristiwa seperti ini tidak hanya menimbulkan kerugian atas nilai materiil korupsi tercatat atas tindak pidana korupsi yang dilakukan. Kerugian ini juga menyangkut nilai-nilai intrinsik lainnya seperti besarnya biaya pemilihan kepala daerah yang dialokasikan negara dan daerah ketika mereka terpilih. Sehingga, kerugian atas peristiwa ini melebar kepada hilangnya biaya pemilihan umum dalam memilih kepala daerah yang amanah. Dengan kata lain, biaya penyelenggaraan pemilihan umum yang besar tidak menjamin lahiirnya pemimpin yang bersih dan bertujuan membangun daerah, tetapi sebagian pemimpin yang koruptif dan menggerogoti hak dan kepentingan masyarakat.

Tentu saja, berbagai kasus korupsi yang mendera para kepala daerah menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah. Terlebih lagi, sebagian besar kasus yang ditindak bukan berasal dari laporan inspektorat daerah melainkan dari laporan masyarakat dan pengembangan penyidikan oleh penyidik.

Padahal, korban utama dari tindak pidana korupsi kepala derah jelas adalah masyarakat daerah itu sendiri. APBD yang seharusnya dikelola dengan efektif, efisien, dan transparan kemudian disalahgunakan untuk memperkaya diri sehingga tujuan dari perencanaan dan penganggaran APBD tidak mampu dicapai oleh daerah. Selain itu, korupsi oleh kepala daerah selaku pimpinan bisa saja menjadi contoh bagi penyelenggara negara lainnya untuk mencoba korupsi walaupun dengan ruang lingkup yang lebih kecil.

Kondisi ini semakin diperparah dengan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang masih jauh dibawah negara-negara maju di Eropa. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 yang dirilis oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 37 dan peringkat 102 dari 180 negara.[1] Indeks Persepsi Korupsi merupakan hasil survey tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional terhadap tingkat korupsi di suatu negara.

Secara umum, korupsi dapat dikelompokkan sebagai berikut: (i) kerugian keuangan negara; (ii) suap-menyuap; (iii) Penggelapan dalam jabatan; (iv) pemerasan; (v) perbuatan curang; (vi) benturan kepentingan dalam pengadaan; (vii) gratifikasi. Selain itu, masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: (i) merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; (ii) tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; (iii) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; (iv) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan benar; (v) orang yang memegang rahasia jabatan yang memberikan keterangan palsu; (vi) saksi yang membuka identitas pelapor.[2] Namun, tindakan koruptif tidak hanya terbatas kegiatan-kegiatan di atas semata.

Memaknai Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik

Sebagai sebuah negara, tentu memerlukan penyelenggara negara (subjek) yang akan menggerakkan negara secara dinamis. Perangkat-perangkat tersebut dikenal sebagai administrator negara (ASN) maupun penjabat jabatan yang kewenangannya bersumber dari kekuasaan negara. Oleh karena itu, berjalannya sebuah negara akan diatur oleh segenap perangkat hukum maupun terikat pada asas-asas pemerintahan yang baik.

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, pada awalnya, praktik penerapan AUPB belum termanifestasi dalam hukum tertulis. Ketika itu, penggunaan AUPB baru sebatas pada implementasi dalam putusan pengadilan dan doktrin hukum. Bahkan, walaupun telah dibentuk Undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, belum ada pengejawantahan AUPB dalam norma tertulis. Ketika itu, AUPB baru diakui secara diam-diam dalam pertimbangan putusan hakim. Hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik untuk menilai sah atau tidaknya keputusan tata usaha negara yang menjadi obyek gugatan.

Setelah undang-undang nomor 5 tahun 1986 mengalami perubahan melalui Undang-Undang 9 Tahun 2004, kedudukan AUPB meningkat menjadi norma hukum positif. Pasal 53 ayat 2 UU 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap AUPB dapat dijadikan dasar mengajukan gugatan kepada penyelenggara negara. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 53 ayat 2  huruf b menyebutkan bahwa AUPB meliputi: asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas.

Oleh karena itu, setiap pemangku jabatan negara yang ada di Indonesia, tidak bisa semena-mena dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sehingga, harus dipahami bahwa pejabat merupakan subjek yang memperoleh kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Sehingga, ia tidak hanya harus tunduk pada norma hukum tertulis melainkan juga harus memperhatikan norma-norma tidak tertulis dalam menyelenggarakan pemerintahan, termasuk AUPB.

Secara khusus, Indroharto menyebutkan, fungsi dari asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah: (i) merupakan pedoman bagi perbuatan pemerintahan atau pedoman dalam menemukan atau menentukan hukum oleh para Badan atau Jabatan TUN:[3] (ii) Apabila dengan dikeluarkannnya suatu keputusan tata usaha negara terjadi pelanggaran terhadap norma-norma semacam itu, maka hal itu akan merupakan suatu alasan untuk menggugat keputusan TUN yang bersangkutan kepada instansi yang berwenang; (iii) asas-asas tersebut oleh instansi yang berwenang dapat merupakan dasar untuk menguji apakah keputusan yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak.

Perkembangan pengaturan prinsip AUPB semakin tegas dan kuat ketika Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terbentuk. AUPB dimanifestasikan kedalam norma hukum tertulis melalui pasal-pasal yang ada di dalamnya.  Selain itu, Pasal 52 ayat 2 UU administrasi pemerintahan menyebutkan bahwa keputusan tata usaha negara dapat dinyatakan sah, apabila dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan AUPB. Sehingga, jika prinsip AUPB diabaikan, maka keputusan tata usaha negara dapat digugat keabsahannya.

Undang-Undang 30 Tahun 2014 memberikan definisi dari AUPB yaitu prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan.[4] Sejalan dengan definisi di atas, Olden Bidara memberikan definisi tentang AUPB sebagai asas-asas hukum yang tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat TUN dalam melakukan tindakan hukum. Adapun AUPB menurut undang-undang 30 tahun 2014 meliputi asas: i) kepastian hukum; ii) kemanfaatan; iii) ketidakberpihakan; iv) kecermatan; v) tidak menyalahgunakan kewenangan; vi)keterbukaan; vii) kepentingan umum; vii) pelayanan yang baik.[5]

Kewenangan Inspektorat Kabupaten/Kota: Ujung Tombak Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Efisien, Bersih, dan Transparan.

Inspektorat Kabupaten/Kota secara hirarki merupakan bagian dari Aparatur Pengawas Intern Pemerintah yang berwenang melakukan pengawasan di tingkat kabupaten/kota. Walaupun ruang lingkup pengawasannya terbatas pada wilayah kabupaten/kota, tetapi optimalisasi fungsi inspektorat kabupaten/kota merupakan ujung tanduk untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, tranparan demi tercapainya tujuan bernegara diantaranya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana yang diamanatkan alinea ke-4 pembukaan UUD NRI 1945.

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tingkat I dan tingkat II memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Namun, kerangka pengawasan tetap menunjukkan adanya garis hirarki yang menyambungkan fungsi pengawasan Pusat dan Daerah. Pada pengawasan penyelenggaraan pemerintahaan daerah tingkat I (provinsi) akan diawasi oleh Menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melalui inspektorat jenderal kementerian atau unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian. Sedangkan, pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tingkat II dilaksanakan oleh Gubernur dan dibantu oleh perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Lebih lanjut, dalam hal pengawasan terhadap perangkat daerah maka semua Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Walikota/Bupati, berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Perangkat Daerah provinsi dibina dan diawasi oleh Gubernur dengan dibantu oleh inspektorat provinsi. Sedangkan, perangkat daerah kabupaten/kota dibina dan diawasi oleh Bupati/Walikota dengan dibantu oleh inspektorat kabupaten/kota. Adapun bentuk kegiatan pengawasannya meliputi:[6] (a) pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (b) pelaksanaan tugas pembantuan yang bersumber dari APBD; (c) ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam tahap perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (d) akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah yang bersumber dari APBD.

Oleh karena itu, terlihat bahwa peran serta inspektorat daerah, terutama inspektorat kabupaten/kota tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Inspektorat kabupaten/kota diberikan fungsi yang vital dan penting dalam membantu Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan perangkat daerahnya khusus dalam hal pengawasan yang terkait dengan keuangan daerah sejak tahap perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan pertanggungjawaban APBD kabupaten/kota.[7]

Tentu saja, penguatan atas eksistensi inspektorat daerah sangat dibutuhkan demi mewujudkan pengawasan yang obyektif dan independen. Harus diakui, kedudukan inspektorat daerah memang setara dengan perangkat daerah lainnya sehingga tidak jarang akan muncul kendala ketika inspektorat akan melakukan pemeriksaan atas pekerjaan dari perangkat daerah lainnya. Belum lagi, kedudukan inspektorat yang berada di bawah Kepala Daerah (Bupati/Walikota) akan menjadi kendala sendiri manakala timbul “temuan” yang ternyata melibatkan Kepala Daerah terkait. Tidak jarang, Kepala Daerah koruptif yang terganggu akibat pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan inspektorat akan melakukan “mutasi” atau pergantian pejabat inspektorat.

Terlebih lagi, terdapat jenis tindakan korupsi yang umum dilakukan Kepala Daerah dan perangkat daerah, yaitu pemberian izin (secara koruptif dan penuh kepentingan). Tentu saja, izin yang dihasilkan tanpa melalui proses yang benar merupakan tindak pidana korupsi sekaligus bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahaan yang Baik. Sehingga, secara tata usaha negara, maka keputusan seperti ini dapat diajkukan pembatalan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain itu, jika ternyata ditemukan unsur korupsi dalam pemberian izin maka menjadi domain dari aparat penegak hukum.

Dalam kasus di atas, Inspektorat tentu bisa untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan dari terbitnya sebuah keputusan administrasi negara oleh perangkat atau kepala daerah. Bahkan, inspektorat kabupaten/kota bisa melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan proses pemberian keputusan tata usaha negara tersebut agar tidak bertentangan dengan peraturan daerah maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Sayangnya, akibat kedudukan inspektorat kabupaten/kota yang masih bertanggung jawab terhadap Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah menimbulkan kerentanan adanya intervensi dari Kepala Daerah maupun Sekretais Daerah jika pemeriksaan tersebut menggangu kepentingan mereka. Oleh karena itu, kondisi  ini memerlukan sebuah dukungan mekanisme koordinasi dan laporan berjenjang kepada daerah yang lebih tinggi, dalam hal ini provinsi. Sehingga, Kepala Daerah tidak merasa memiliki kewenangan absolut atas inspektorat kabupaten/kota (secara adminsitratif) maupun menegasikan kekuasaan dan kewenangan jenjang pemerintahan di atasnya (provinsi).

Sehingga, walaupun otonomi daerah diberikan kepada kabupaten/kota, dan Kepala Daerah sebagai pemimpin jalannya pemerintah daerah, tidak serta merta menegasikan kedudukan pemerintah daerah provinsi selaku perwakilan pemerintah Pusat. Otonomi Daerah memang memberikan kebebasan dan diskresi bagi kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pemerintahannya tetapi tidak memberikan kedaulatan dan kemerdekaan kepada kabupaten/kota. Hakikatnya, daerah kabupaten/kota merupakan bentukan administrasi dari Pusat untuk menyelenggarakan sebagaian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Daerah.

Oleh karena itu, lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 sebagai sebuah ikhtiar yang memperkuat kedudukan inspektorat kabupaten/kota untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Peraturan ini mengatur bahwa tugas inspektorat daerah dalam membantu Bupati/Walikota dalam membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan dan Tugas Pembantuan oleh perangkat daerah, meliputi: a) perumusan kebijakan teknis di bidang pengawasan dan fasilitasi pengawasan; b)pelaksanaan pengawasan internal terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya; c) pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan dari bupati/walikota dan/atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; d) penyusunan laporan hasil pengawasan; e) pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi; f) pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi; g) pelaksanaan administrasi inspektorat Daerah kabupaten/kota; h) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh bupati/walikota terkait dengan tugas dan fungsinya.[8]

Setidaknya, itikad penguatan terlihat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 yang mengarah pada penguatan independensi Inspektorat, walaupun tetap bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Beberapa penguatan yang diberikan diantaranya: (i) ketentuan “mutasi” atau pemberhentian inspektorat daerah kabupaten/kota harus dikonsultasikan terlebih dahulu oleh Bupati/Walikota secara tertulis kepada Gubernur; (ii) penambahan tugas dan fungsi untuk pelaksanaan koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi dan mengawasi pelaksanaan program reformasi birokrasi; (iii) kewenangan untuk melakukan pengawasan tanpa perlu menunggu adanya penugasan dari kepala daerah jika terdapat potensi penyalahgunaan wewenang dan/atau kerugian keuangan negara/daerah; (iv) kewenangan inspektorat kabupaten/kota melaporkan kepada Gubernur dalam hal terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang dan/atau kerugian keuangan negara/daerah sehingga Gubernur akan melakukan supervisi kepada inspektorat daerah dengan melibatkan lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan intern Pemerintah.

Oleh karena itu, terbentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah menjadi “angin segar” bagi para pemangku jabatan di Inspektorat Daerah untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan lebih independen daripada kedudukan sebelumnya. Secara struktur, Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota tidak selalu khawatir atas jabatan dan amanah yang diemban karena proses mutasi dan pemberhentian harus melalui konsultasi resmi oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur. Selain itu, risiko dan ikhtiar yang dilakukan dalam menjalankan pengawasan yang ternyata menemukan kerugian keuangan negara/daerah dan penyalahguanaan kewenangan tidak hanya berakhir sebagai “kertas laporan” semata di meja Bupati/Walikota dengan adanya mekanisme “lapor” kepada Gubernur (jajaran yang lebih tinggi) yang kemudian dilakukan supervisi bersama lembaga pengawas terkait. Dengan demikian, adanya beberapa perubahan dalam rangka penguatan inspektorat kabupaten/kota diharapkan mampu menajamkan pemeriksaan dan pengawasaan berjalannya pemerintahan daerah. Sehingga, kejadian-kejadian korupsi oleh Kepala Daerah maupun perangkat daerah tidak lagi ditemukan pada masa yang akan datang.


[1] Indeks Persepsi Korupsi 2020: Korupsi, respons covid-19 dan kemunduran demokrasi, diunduh dari https://ti.or.id

[2] M. Syamsa Ardisasmita, “Definisi Korupsi menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan, dan Akuntabel”, diunduh dari https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf

[3] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 90.

[4] Indonesia, Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, LN. No. 292 Tahun 2014, TLN. No. 5601, Pasal 1 angka 17

[5] Indonesia, Undang-Undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, LN. No. 292 Tahun 2014, TLN. No. 5601, Pasal 10

[6] Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, LN. No. 73 Tahun 2017 TLN. No. 6041, Pasal 17

[7] Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, LN No. 244 Tahun 2014 TLN No. 5587, Pasal 380.

[8] Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, LN. No. 187 Tahun 2019 TLN. No. 6402, Pasal 33

PENGAWAS PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAH DAERAH

INSPEKTORAT KABUPATEN FAKFAK

Author: admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *